PIRAC mempersoalkan kandungan MSG dalam makanan anak-anak. Tapi produsen menganggap penelitian PIRAC cuma omong kosong.
Riza Sofyat, Dikky Setiawan, Kartina Ika Sari, dan Feby Indirani
Ribut-ribut
soal monosodium glutamat (MSG) sebagai bahan penyedap kembali
mencuat.Kali ini, Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC)
yang mempersoalkan kandungan monosodium glutamat alias vetsin dalam
makanan ringan yang biasa dikonsumsi anak-anak.
Menurut lembaga swadaya masyarakat ini, banyak makanan ringan dalam
kemasan tak mencantumkan kandungan MSG yang bisa mengancam kesehatan
anak.
Kata Nurhasan, peneliti di PIRAC, lembaganya meneliti 13
merek makanan snack sejak Juni hingga Juli 2003. Dari 13 merek itu,
ternyata sebanyak tujuh merek tak menyebutkan adanya MSG dalam
kemasannya. Ketujuh merek itu adalah Chiki, Chitato, Cheetos, Taro
Snack, Smax, Golden Horn, dan Anak Mas. Padahal, sesuai dengan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen Tahun 1999 dan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 722 Tahun 1988 tentang bahan tambahan makanan, kandungan
MSG dalam makanan harus disebutkan.
Sementara itu, enam merek
makanan ringan lainnya memang menyatakan adanya kandungan MSG. Tapi,
menurut Nurhasan, berapa gram kandungan MSG ini tak disebutkan secara
tegas. Hal ini tentu tak sejalan pula dengan prinsip kejelasan bagi
konsumen.
Dari hasil penelitian itu pula, PIRAC memperoleh
persentase kandungan MSG dalam makanan snack yang dimaksud. Tiga makanan
ringan, yakni bermerek Cheetos, Chitato, dan Twistko, ternyata
mengandung MSG lebih dari 1% (lihat Info Grafik). Bayangkan, bila
seorang anak memakan sampai 100 gram snack berkadar 1,02% MSG, berarti
si anak telah mengonsumsi MSG sebanyak 1,02 gram. Bagaimana jadinya
kesehatan anak bila pola mengonsumsi snack ber-MSG ini terjadi berulang
kali?
Tapi, berapa gram persisnya konsumsi MSG yang bisa
membahayakan kesehatan anak? Nurhasan mengaku tak bisa memastikan.
â€Hitung-hitungan ini memerlukan penelitian khusus,†ucapnya.
Masalahnya, hingga sekarang belum ada penelitian klinis tentang dampak
MSG terhadap kesehatan manusia. Boleh jadi ini karena kendala etis
penelitian yang tak membolehkan manusia dijadikan kelinci percobaan.
Kalau di bidang obat-obatan, penelitian klinis masih memungkinkan.
Yang
jelas, Nurhasan menyodorkan referensi berdasarkan rekomendasi Badan
Pengawas Obat dan Makanan di Amerika Serikat. Menurut institusi ini,
batas aman MSG yang bisa dikonsumsi adalah di bawah dua gram. Kalau
sudah dua gram sampai tiga gram, sebagaimana hasil penelitian lembaga
itu pada tahun 1995, MSG bisa menimbulkan alergi. Dan, bila sampai
mengonsumsi lima gram MSG, ini bisa membahayakan orang yang menderita
penyakit asma.
Dulu, pada tahun 1975, Institut Pertanian Bogor
pernah meneliti efek MSG terhadap ayam. Hasilnya, unggas itu mati
setelah mengonsumsi makanan yang mengandung MSG. Menurut Nurhasan, efek
negatif ini bisa dianalogikan dengan kasus Chinese Restaurant Syndrome.
Dalam kasus ini, seorang dokter di Amerika makan di sebuah restoran Cina
pada tahun 1969. Sekitar 20 menit kemudian, dia merasa mual, pusing,
dan kemudian muntah-muntah. Sindrom atau kumpulan gejala ini terjadi
lantaran makanan Cina mengandung banyak MSG. Ini berarti pula,
â€Mengonsumsi MSG tergolong berisiko,†ujar Nurhasan.
Karena
itulah, kata Nurhasan lagi, PIRAC meminta agar pemerintah melalui
Departemen Kesehatan membuat peringatan bahwa mengonsumsi MSG lebih dari
satu gram adalah berbahaya. Hal ini sesuai dengan rekomendasi Badan
Pengawas Obat dan Makanan di Amerika Serikat, yang menyebutkan bahwa
batas aman MSG adalah di bawah dua gram.
Selama ini, yang
digunakan selalu patokan dari Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722
Tahun 1988 tentang Bahan Tambahan Makanan, yang hanya menyatakan bahwa
pemakaian MSG secukupnya. â€Tak bisa hanya dikatakan secukupnya. Harus
ditegaskan juga batas amannya dalam satuan gram atau miligram,†tutur
Nurhasan menambahkan.
Ternyata, hasil penelitian sekaligus
pendapat PIRAC itu langsung diprotes keras oleh Sunarto Prawiro Sujanto,
Ketua Persatuan Pabrik MSG dan Glutamic Acid Indonesia. â€Pernyataan
PIRAC itu omong kosong. Penelitiannya bohong,†kata mantan Dirjen
Pengawasan Obat dan Makanan (POM) pertama pada tahun 1974, ini.
Sunarto
menambahkan bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan di Amerika Serikat
sudah secara resmi menyatakan MSG aman. â€MSG beredar di Amerika dan
tak merugikan kesehatan konsumen,†ujarnya.
Ia juga mengkritik
hasil penelitian PIRAC tentang kadar MSG dalam berbagai merek makanan
ringan. Menurut PIRAC, kandungan MSG yang dimaksud antara 0,46% dan
1,02%. Kalau benar kandungannya sebesar itu , berarti sebungkus makanan
snack yang beratnya antara 14 dan 20 gram hanya mengandung MSG antara
64,4 miligram hingga 204 miligram. Tapi, PIRAC mengatakan bahwa makanan
ringan tersebut seberat 200 gram—berarti jumlah MSG-nya adalah 0,92
gram sampai 2,04 gram. â€Tak ada makanan ringan seberat 200 gram,â€
kata Sunarto.
Di Amerika pun, snack dalam kemasan kaleng hanya
seberat 180 gram—artinya tak sampai 200 gram. Di kalengnya memang
disebutkan adanya kandungan MSG, tapi tak dicantumkan kadar
kandungannya. Sebab, tak ada aturan yang mengharuskan itu. Peraturan
Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 juga tak mengharuskan disebutkannya
kandungan MSG. Bahkan menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
235 Tahun 1979, MSG atau vetsin boleh dipakai, asalkan secukupnya.
â€Itu semua membuktikan bahwa MSG memang aman untuk dikonsumsi,†ujar
Sunarto.
Sunarto tak lupa memprotes kalangan dokter yang acap
mengatakan bahwa MSG berbahaya. â€Omong kosong kalau ada orang sakit
karena makan MSG,†ucapnya. Lagi pula, sampai saat ini belum ada
penelitian yang bisa membuktikan bahaya yang dimaksud. Pernah bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada melakukan
penelitian serius tentang efek MSG. Penelitian ini dibantu oleh
Departemen of Mathematical Sciences, Faculty of Business and Technology,
University of Western Sydney, Australia.
Hasilnya? Sebagaimana
dipresentasikan di Italia pada 12-14 Oktober 1998, ternyata tak
ditemukan gejala gangguan kesehatan pada orang-orang sehat yang
makanannya ditambah MSG sampai tiga gram pada setiap porsinya. Tekanan
darah, kecepatan denyut nadi, dan pernapasan pada kelompok sampel
orang-orang yang diberi MSG antara 1,5 sampai 3 gram juga tak berbeda
nyata dengan mereka yang diberi makanan tanpa MSG.
Atas dasar
itu, menurut Sunarto, batasan kandungan MSG yang bisa dikonsumsi tak
perlu dicantumkan. â€Berbagai makanan ringan itu pun paling banter
kandungan MSG-nya 0,004%. Kalau terlalu banyak, rasanya asin. Jadi
enggak laku dong,†katanya.
Hal senada juga diutarakan Ketua
Badan POM, Sampurno. Menurutnya, makanan ringan yang diteliti PIRAC itu
aman untuk dikonsumsi. Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga menyatakan bahwa
MSG aman bagi kesehatan. Tentu saja bahan ini tak boleh sampai
dikonsumsi oleh bayi, terutama yang masih berusia di bawah tiga bulan.
Kendati demikian, Sampurno sependapat bila kandungan MSG harus
dicantumkan di label kemasan makanan.
diambil dari site http://www.majalahtrust.com/danlainlain/kesehatan/357.php
Blogroll
Perubahan gaya hidup telah mempengaruhi pola makan seseorang. Globalisasi, dimana banyak sekali restoran cepat saji, telah menjadi tren gaya hidup saat ini, khususnya mahasiswa. Instan telah menjadi pertimbangan utama mahasiswa dalam memilih produk, tidak terkecuali untuk makanan. Perubahan gaya hidup dan pola konsumsi tersebut, memberikan peluang bagi para produsen untuk menciptakan keragaman produk yang sedang digandrungi para mahasiswa.
Nuggle (Nugget Vegetable) merupakan makanan siap saji, yang terbuat dari olahan sayuran segar merupakan salah satu alternatif makanan sehat, yang saat ini masih belum sering ditemui di masyarakat. Dan diharapkan usaha Nuggle ini dapat menarik minat banyak konsumen dari semua kalangan, memuaskan pembeli serta menjadi alternatif makanan yang sehat bagi masyarakat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Mengenai Saya
- NUGGLE
- novasi Baru Nugget Sayur Halal, Tanpa MSG, Tanpa Pengawet, Tanpa Pengenyal, Cocok untuk buah hati anda yang tidak doyan makan sayuran...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar